Mempertahankan karyawan berkualitas kian lama kian sulit saja. Kini orang lebih loyal kepada dirinya sendiri ketimbang pada perusahaan. Inilah yang disebut life-time employability, jadi bukan lagi life-time employment. Bahkan, orang Jepang yang dulu terkenal dengan life-time employment-nya kini lebih mementingkan kepuasan kerja daripada kesetiaan pada perusahaan.

Untuk mempertahankan karyawan, perusahaan dapat saja memberikan berbagai imbalan dan iming-iming yang menarik. Namun, bukan di situ letak persoalannya. Berbagai fasilitas memang penting, tapi ini hanya bisa memuaskan karyawan secara fisik. Padahal bekerja bukanlah sekadar memenuhi kebutuhan ekonomi, melainkan juga kebutuhan psikologis yaitu untuk aktualisasi diri. Untuk mencapai aktualisasi diri ini, kata kuncinya adalah pemberdayaan (empowerment) dalam perusahaan. Hanya dengan pemberdayaan perusahaan dapat mempertahankan karyawan yang berkualitas.


Dalam manajemen, istilah pemberdayaan populer sejak dikemukakan Rosabeth Moss Kanter lewat bukunya When Giants Learn To Dance (1989). William C. Byham, pakar SDM dari Universitas Pittsburgh yang banyak menulis buku mengenai pemberdayaan, merancang berbagai pelatihan dan pengembangan karyawan yang diberinya nama Skills for an Empowered Workforce.


Tak hanya dalam manajemen, dalam politik pun pemberdayaan senantiasa menjadi kata kunci. Kini di saat komitmen kita sebagai bangsa mulai luntur dengan adanya kecenderungan daerah-daerah seperti Aceh, Riau dan Irian Jaya untuk memisahkan diri, orang mulai bicara mengenai otonomi -- yang berarti pemberdayaan. Dengan memiliki kewenangan mengatur daerahnya sendiri, diharapkan akan tumbuh keterlibatan dan rasa memiliki. Inilah yang dapat menjamin komitmen daerah-daerah tersebut untuk tetap bersatu di bawah payung Indonesia.


Tujuan utama pemberdayaan, agar setiap karyawan dapat melepaskan potensi, kemampuan dan energi mereka demi kepentingan perusahaan. Pemberdayaan inilah inti manajemen SDM. Namun untuk bisa melepaskan potensi ini, ada dua kondisi yang harus ada dalam organisasi.


Pertama, individunya harus berdaya terlebih dulu. Ini persoalan kompetensi. Tanpa kompetensi, pemberdayaan bisa berarti anarki. Karena itu, perusahaan harus terlebih dulu mengembangkan karyawannya agar dapat mandiri. Kuncinya seperti dikemukakan Lao Tse, "Beri seekor ikan, Anda memberinya makan sehari; ajari ia mengail, Anda menghidupinya sepanjang umur."


Kedua, walaupun karyawan sudah kompeten, belum tentu ia mau melepaskan semua kemampuannya bagi perusahaan. Ia masih menahan potensinya karena kurang adanya kepercayaan terhadap perusahaan. Penelitian yang dilakukan di pabrik gelas Viking Glass, AS, menemukan bahwa ketakpercayaan antara karyawan dan manajer merupakan hambatan nomor 1 dalam pemberdayaan.


Karena itu dari sudut pandang organisasi, memberdayakan berarti menciptakan iklim yang kondusif, sehingga potensi manusia bisa dimanfaatkan dan dikapitalisasi untuk organisasi. Dasar pemberdayaan adalah kepercayaan (trust). Untuk bisa melepaskan potensinya, karyawan harus memiliki rasa aman untuk melakukan tindakan apapun selama masih di dalam rambu-rambu organisasi yaitu visi, misi dan nilai-nilai.


Michael Hammer dan James Champy, dalam Reengineering the Corporation memberi contoh menarik tentang pelayan hotel yang langsung mengganti US$ 150 kepada tamu yang kehilangan peralatan radarnya di tempat parkir. Pelayan hotel ini berani mengambil risiko karena sangat yakin tindakannya pasti didukung manajemen. Inilah contoh organisasi yang menerapkan pemberdayaan.


Namun pemberdayaan sering disalahpahami. Banyak manajer yang mengaku sudah memberdayakan karyawannya, tetapi sebetulnya hanya memberikan tambahan tugas dan tanggung jawab, tanpa memberikan wewenang apapun. Padahal, pemberdayaan mengandung dua komponen: kewenangan dan tanggung jawab. Persoalannya, wewenang sering dilihat sebagai kekuasaan, sementara tanggung jawab sebagai beban. Logikanya, orang cenderung berbagi beban tapi tak mau berbagi kekuasaan. Nah, manajer yang seperti ini sebenarnya bukan "memberdayakan" melainkan "memperdayakan" karyawannya.


Banyak manajer yang menganut konsep zero sum game yang berasumsi bahwa setiap penambahan kekuasaan pada seseorang berarti pengurangan kekuasaan pada yang lain; jika ada yang diuntungkan, pasti ada yang dirugikan. Padahal, kekuasaan adalah sumber daya yang dapat diperluas (expandable resources). Dengan menyerahkan pengawasan, perencanaan, analisis dan pengambilan keputusan pada bawahannya, manajer justru dapat melakukan hal-hal lain yang lebih strategis seperti menentukan visi, menciptakan iklim dan budaya organisasi serta membangun aliansi strategis. Dengan demikian kekuasaannya tak berkurang, tapi malah berlipat ganda dan lebih efektif.


Pemberdayaan merupakan proses yang panjang. Jack Welch, CEO GE, membutuhkan waktu 13 tahun untuk memberdayakan GE yang birokratis dan kurang mempercayai karyawannya menjadi salah satu perusahaan paling kompetitif di dunia. Karyawan GE juga dikenal berkomitmen tinggi. Mengenai perubahan ini, Welch mengatakan: "We used to tell people what to do, and they did what they were told and not one other thing. Now we are constantly amazed by how much people will do when they are not told what to do by management."


Welch benar, pemberdayaanlah yang akan menimbulkan komitmen. Karyawan akan melepaskan semua potensi yang dimiliki bila mereka memiliki keterikatan dengan organisasi. Keterikatan ini dapat diperoleh dengan pemberdayaan. Pemberdayaanlah yang akan mengubah perasaan memiliki dari sekadar sense of belonging (SB) menjadi sense of ownership (SO). SB adalah rasa memiliki yang bersifat pasif, sementara SO adalah rasa memiliki yang bersifat aktif yang diwujudkan dalam bentuk inisiatif, keberanian mengambil tanggung jawab dan risiko serta keinginan berbagi. SO juga mengubah bentuk keterikatan orang dengan organisasi, dari sekadar yang bersifat bisnis dan transaksional menjadi semacam "keterikatan batin". Dengan SO inilah orang akan senantiasa memberikan yang terbaik untuk organisasi.


Dengan SO yang tinggi, perusahaan akan terus maju dan berkembang. Tugas Anda sebagai manajer pun akan kian ringan tapi kian strategis. Walter B. Wriston, mantan pimpinan Citicorp dan Citibank, dalam Harvard Bussiness Review menulis: "The job of manager today is very simple and very difficult: to find the best people you can, motivate them to do the job, and allow them to do it their own way."