Kesukaan tertawa -- terutama kalau melakukan presentasi di depan khalayak -- membuat banyak sahabat yang punya hobi mengoleksi lelucon, dengan senang hati mau membagi leluconnya ke saya. Dalam salah satu kesempatan bermain golf di Sentul Bogor, seorang CEO perusahaan teknologi informasi terkemuka,
pernah bertutur tentang seseorang yang istrinya amat cantik, yang bertanya keheranan pada Tuhan. Pertanyaan pertama, Tuhan kenapa istri saya amat cantik? Dengan tenang Tuhan menjawab: That`s why you love her! Pertanyaan kedua, Tuhan kenapa saya diberi istri yang amat baik hati? Kali ini juga Tuhan menjawab secara bijak: That`s why you love her! Pertanyaan terakhir, Tuhan kenapa istri saya bodoh sekali? Pada kesempatan ini Tuhan menjawab dengan nada bicara agak meninggi: That`s why she loves you!
Bagi penggemar lelucon dan canda, cerita ini memang hanya komoditas canda yang biasa. Bisa mengundang tawa, kalau Anda memiliki cukup sense of humor. Bisa juga mengundang alis berkerut, terutama mereka yang agak telmi dengan lawakan intelek. Namun, bagi pembaca kelas berat, lawakan tidak jauh berbeda dari rangkaian perjalanan intelektual, yang diperoleh melalui tumpukan buku, jurnal, majalah, koran dan sekarang ditambah dengan paperless knowledge yang dikumpulkan melalui Internet.


Dikatakan demikian, karena serupa dengan lelucon yang ujung-ujungnya mengundang tawa, pengetahuan di tingkatan tertentu juga mengundang tawa. Terutama, tertawa karena tahu betapa bodohnya kita jadi manusia. Mirip dengan humor yang menguras konsentrasi di awal, dan kemudian menghasilkan "ah ha ha" di akhir, kegiatan membaca juga serupa. Ekspresi muka jadi serius di awal, agak bingung di perjalanan, juga menghasilkan efek "ah ha" di akhir.


Entah lucu atau tidak, bagi saya rugi besar siapa saja yang tidak memiliki hobi membaca. Sebagaimana paralel antara lawakan dan intelektualitas di atas, kemalasan orang membaca membuat orang kehilangan kesempatan tertawa -- terutama menertawakan kebodohan diri sendiri.


Pengalaman baca saya bertutur, ada beberapa tingkatan intelektualitas manusia kalau dihubungkan dengan cara baca seseorang. Dulu, ketika masih menjadi siswa sekolah dasar di desa Tajun (Bali Utara), teringat sekali bagaimana saya dan murid-murid lain sambil menutup mata menghafal Pancasila. "Pancasila, satu tetap, dua tetap, tiga tetap ... lima tetap -- demikian kira-kira anak-anak Bali menghafal Pancasila lengkap dengan logat "t"-nya yang khas. Dan ketika ada sahabat dari Batak yang bertanya kenapa serba tetap, dengan tangkas anak Bali menjawabnya: "Dari dulu tidak ada yang berubah!" Inilah tingkatan baca yang paling awal: menghafal.


Tingkatan kedua setelah bosan menghafal adalah windows shopping. Mencari-cari pengetahuan, mengumpulkannya dan kemudian mengobralnya kepada setiap orang yang lewat di depan mata. Sedikit sekali nilai tambah intelektualitas ke diri sendiri maupun orang lain yang dihasilkan oleh kegiatan window shopping. Bahkan ada risiko pembonsaian pikiran di sini. Salah satu ciri tingkatan kedua ini, kesukaan mengutip sana-sini. Dengan menyebut nama-nama besar seperti Naisbitt, Drucker, De Bono dan sejenis, mereka yakin sudah sampai di ujung intelektualitas.


Tingkatan ketiga, orang mulai berani menjaga jarak terhadap bacaan-bacaannya. Dulu, ketika masih duduk di sekolah MBA, saya pernah demikian terobsesi dengan ide-ide Henry Mintzberg. Namun, begitu ia diendapkan lama, ternyata Henry membuat saya kembali ke tingkat SD (baca: menghafal). Ide Henry banyak yang inspiratif, tapi kekaguman berlebihan membuat saya terbonsai.


Tingkatan keempat, dan maafkan saya hanya bisa bertutur sampai di sini, serta belum tahu kalau ada tingkatan yang lain, adalah tingkatan membaca reflektif. Di tingkatan reflektif, membaca adalah kegiatan percakapan antara jiwa dan dirinya sendiri. Awalnya memang dipermainkan oleh "sandiwara" benar-salah. Disebut sandiwara, karena dalam setiap wacana pengetahuan, banyak manusia yang disutradarai pikirannya sendiri tanpa ada kesempatan menjaga jarak. Pokoknya, ini benar itu salah. Demikianlah kehidupan intelektual mereka yang menjadi tahanan pikiran.


Namun, begitu mendalami hakikat membaca reflektif, benar-salah hanya menunjukkan betapa berkuasanya pikiran. Mirip anak kecil yang menangis ketika diingatkan, tertawa riang ketika diberi hadiah. Pikiranlah yang menjadi satu-satunya penguasa di dalam diri. Dalam tatanan reflektif, perjalanan intelektual tidak lagi sandiwara benar-salah yang disutradarai pikiran, ia adalah perjalanan melampaui pikiran. Kejernihan, keheningan, kesadaran, dan bahkan pencerahan mudah sekali berkunjung pada kehidupan intelektual manusia yang sudah sampai pada tataran ini.


Siapa saja yang bisa memeluk benar dan salah dengan kualitas yang sama mesranya, ia sudah sampai di tingkatan terakhir. Saya tidak bisa menjanjikan kehebatan-kehebatan, apa lagi keajaiban-keajaiban di sana. Yang ada hanyalah posisi yoga (dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan to yoke, atau proses penyatuan). Penyatuan dengan siapa? Penyatuan antara jiwa dan dirinya sendiri. Inilah keadaan, di mana orang sudah memandang lawakan, bacaan dan pencerahan sebagai rangkaian kegiatan yang sama menariknya. Ia sama-sama memiliki kedalaman makna, sama-sama membawa manusia pada tangga-tangga pemahaman yang lebih meyakinkan, dan yang paling penting sama-sama membuat kita tertawa.


Jujur saja, saya tidak sedang mengajak Anda tertawa, adakah tataran pemahaman seperti ini hanyalah sebentuk kehidupan terlalu serius yang tidak berguna, atau hanya lelucon yang mengundang tawa?




Opini - Gede Prama


Gede Prama adalah pembicara publik, Presiden Dynamics Consulting dan CEO perusahaan swasta.